Dari, Oleh, Untuk MWCNU RENGEL

Wikipedia

Hasil penelusuran

Language Choice

غينا غينكم غينهم

Sabtu, 27 Oktober 2018

Heboh Pembakaran Bendera Hitam Bertuliskan Kalimah Tauhiid 2018

Tauhid dan Bendera yang Dibakar
Candra Malik (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)


Jakarta - Dua hari sebelum peristiwa pembakaran bendera hitam yang bertuliskan kalimat tauhid di Garut, saya berada di Pesantren At Taufiqi di Wonopringgo, Pekalongan, Jawa Tengah. Duduk menghadap Romo Kiai Taufiq, saya diterima di masjid tepat seusai adzan Dhuhur. Mursyid sejumlah thariqat mu'tabarah di Indonesia ini membimbing saya mengucap "laa ilaaha illa 'l-laah". "Laa ilaaha, tiada Tuhan, itu nafi', penyangkalan. Illa 'l-laah, selain Allah, itu isbat, penerimaan," bisik kiai.

Tak hanya tentang bagaimana kalimat tauhid itu diucapkan, namun juga tentang bagaimana agar "laa ilaaha illa 'l-laah" membakar Fir'aun di dada kita. Diakui atau tidak, tuhan-tuhan kecil terus saja bermunculan dalam diri manusia. Tak lantas tersadar ketika menyebut nama Tuhannya, tapi justru semakin jumawa dan berani berperan laksana tuhan. "Jangan lisan saja, gunakan pula hatimu untuk berzikir," pesan Romo Kiai Taufiq seraya menunjukkan letak lathifatu 'l-qalbi.

Masih pada hari yang sama, dua hari sebelum polemik apakah yang dibakar oleh anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) itu bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau bukan, saya juga mendapat anugerah luar biasa. Yaitu, dapat duduk di sisi Habib Luthfy bin Yahya, Rais Aam Idaroh Aliyah Jamiyyah Ahlith Thariqah Al Mu'tabarah An Nahdliyyah (JATMAN) di kediamannya, Pekalongan. Habib Lutfhy menerima banyak sekali tamu beserta aneka keperluan mereka.

Di sela-sela itu, ia menjelaskan tentang tiga hal utama dalam kehidupan seorang muslim dengan mengutip Q.S. Al Baqarah ayat 3. Pertama, pembangunan ideologi ketuhanan dalam pemahaman beragama. Kedua, pembangunan kesadaran manusia seutuhnya sebagai hamba Tuhan. Ketiga, pembangunan hubungan yang harmonis antarsesama manusia untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. "Jangan sampai kita memekikkan takbir Allahu Akbar tanpa menyadari makna Allahu Akbar," serunya.

Habib Lutfhy bertanya, "Allahu Akbar itu apa artinya?" Saya seketika menjawab, "Allah Maha Besar." Yang mengejutkan, ia menimpali, "Bagaimana dengan kamu?" Kali ini saya tak mampu langsung bicara. Habib Luthfy justru menjawabkannya untuk saya. "Jika memang Allahu Akbar itu Allah Maha Besar, seharusnya kita langsung tersadar betapa kita ini maha kecil. Sangat kecil bagi Allah! Jangan bertakbir tapi malah mengacungkan kayu, memecah kaca, memukul apa saja!"

Saya tertunduk, malu. Betapa sering diri ini diam-diam atau bahkan terang-terangan menuhankan diri sendiri, suka merasa lebih segala-galanya daripada orang lain; terutama merasa lebih benar. Inilah yang oleh Habib Luthfy dimaksud dengan disebut pembangunan ideologi ketuhanan dalam pemahaman beragama. Dan, betapa lemahnya kita di level satu ini. Betapa ringkih fondasi kita. Padahal, beriman pada Allah Yang Maha Gaib seharusnya semakin menegaskan betapa banyak hal yang kita tak tahu.

Saya memang ingin bertanya satu hal saja pada siapa pun yang merasa paling tahu atau banyak tahu. Pertanyaan sederhana: apa yang Anda tidak tahu? Sebab, saya semakin yakin bahwa sebanyak-banyak yang kita tahu masih lebih banyak yang kita tidak tahu. Terlebih dalam urusan bagaimana Allah mengatur alam semesta, memilih siapa yang berhak menerima hidayah-Nya, siapa yang benar, siapa yang masuk surga, dan sebagainya. Tapi, saya akan mulai dari bertanya pada diri sendiri.

Mawas diri memang urusan paling pelik. Tidak setiap orang mau melakukannya, apalagi jika sudah menyangkut urusan politik; baik politik kekuasaan maupun politik kebenaran. Dan, agama semakin populer dijadikan tunggangan hawa nafsu. Padahal, bukankah barangsiapa mencari pembenaran, niscaya ia tidak akan menemukan kebenaran? Konflik horisontal seperti dijadikan piaraan oleh tuan dan puan yang punya hobi mahal. Dan, rakyat lagi yang diperdayai.

Pada hari ketika kain hitam bertuliskan kalimat tauhid itu diturunkan dari kibaran, di tengah-tengah lautan manusia yang memperingati Hari Santri Nasional (HSN) keempat pada tahun 2018, saya dalam perjalanan dari Solo ke Magelang. Saya menerima dhawuh, atau perintah, dari kiai muda yang sangat saya hormati, yaitu KH Yusuf Chudlory, untuk menghibur santri-santri di Pesantren Syubbanul Wathon yang baru dua tahun berdiri. Juga dalam rangka memuncaki peringatan HSN.

Obrolan kami mengarah pada tema yang berbeda ketika masing-masing dari kami menerima pesan pendek yang kurang lebih sama. Yaitu, tentang insiden Garut. Gus Yusuf berkata, "Saya setuju dengan uraian Gus Muwaffiq bahwa kita tidak memiliki masalah dengan laa ilaaha illa 'l-laah. Itu kalimat tauhid yang suci. Tiap hari kita baca dalam tahlil. Tapi, ketika laa ilaaha illa 'l-laah dijadikan alat politik, itu tidak lagi sesuai dengan kesucian kalimat tauhid dan menjadikannya bermasalah."

Sebagaimana pula dalam kasus palu-arit yang dijadikan lambang Partai Komunis Indonesia (PKI), Gus Yusuf menegaskan tidak punya masalah dengan palu dan arit ketika difungsikan sesuai peruntukannya. "Palu itu alat kerja untuk menumbuk dan arit itu alat kerja untuk menyabit. Namun, jika palu dan arit disatukan dan dijadikan alat politik, dalam hal ini lambang PKI, itu jadi masalah," terangnya. Oleh karena itu, Gus Yusuf menyesalkan aksi provokasi di dalam kegiatan peringatan HSN di Garut.

Belum jelas betul apakah bendera yang dikibarkan itu bendera tauhid dan apakah yang kemudian dibakar itu bendera HTI. Yang jelas, sesungguhnya tauhid tidak memerlukan bendera untuk berkibar. Ia hidup dalam setiap diri yang mengimani tiada tuhan selain Allah. Dan, keimanan kita itu tidak membutuhkan pengakuan sesama makhluk Allah. "Jika umat tidak mengakui kerasulanmu, Muhammad SAW, Akulah yang mengakuimu," kata Habib Luthfy menyitir Q.S. Yasin ayat 3.

Hanya saja, salah satu cara manusia bertahan hidup adalah dengan mencari, bahkan merebut, pengakuan manusia lainnya. Tanpa pengakuan, ia tidak bisa mengada. Walaupun harus dengan mengada-ada, itu dianggap lebih baik daripada meniada, daripada apa adanya yang kemudian justru tergeser dan kalah dalam persaingan hidup. Eksistensi diri pribadi dan kelompoknya menjadi amat penting. Lihatlah betapa pembubaran HTI belum benar-benar memadamkan api.

Peringatan Hari Santri Nasional tahun ini masih satu pekan dengan Hari Sumpah Pemuda yang memasuki usia penting, yaitu 90 tahun. Pada 28 Oktober 1908, pemuda-pemudi Indonesia mengikrarkan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan. Pun telah jauh perjalanan anak bangsa ini hingga sampai pada penetapan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan asas tunggal. Enam agama telah diakui negara, plus pengakuan terhadap aliran kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kebenaran tidak monopoli satu agama. Mensyirikkan upacara adat karena dianggap tidak sesuai dengan syariat dirasa juga memperkeruh suasana persaudaraan antarsesama anak bangsa. Soal itu belum selesai, kini muncul soal bendera. Begini saja, jika para pendahulu telah melahirkan Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda II, yang tidak pernah disebut sebagai kongres pemuda terakhir, mari kita adakan Kongres Pemuda III.

Candra Malik budayawan sufi

0 Comments:

Posting Komentar