Ahmad Damanhury ada di Facebook.Untuk terhubung dengan Ahmad, gabung dengan Facebook hari ini.
Ahmad Damanhury ada di Facebook.Untuk terhubung dengan Ahmad, gabung dengan Facebook hari ini.
Ahmad Damanhury, profile picture

Sejarah Masjid Al Anwar Banjararum Rengel

Banjararum merupakan salah satu desa dari 16 desa di Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban. Pada awalnya desa ini belum bernama Banjararum. Nama ini baru digunakan setelah Indonesia diakui kemerdekaannya oleh Belanda di tahun 1949. Desa ini merupakan penggabungan dari dua desa, yakni Desa Karoman dan Desa Boro yang masing-masing memiliki kepala desa sendiri. Sejak itu nama Karoman dan Boro menjadi nama dusun di Banjararum ditambah Dusun Blimbing.

Banjararum cukup berpotensi, karena lahan pertaniannya yang subur dan cukup luas, dengan sumber air yang terbilang melimpah. Karena terletak di bantaran Bengawan Solo dan juga dilewati aliran Kali Beron, pengairan untuk lahan pertanian bisa diperoleh dengan pompanisai dan irigasi. Desa yang sejak 2013 dipimpin oleh kades perempuan yang bernama Nunung Anifah ini pernah memperoleh penghargaan sebagai desa terbaik dalam perlombaan Desa Hijau se-Kabupaten Tuban di tahun 2019. Memiliki luas sekitar 2,13 km2 dan berpenduduk kurang lebih 3.622 jiwa, Banjararum memiliki wilayah yang potensial untuk pertanian, pertambangan pasir, peternakan dan perikanan.

Di Banjararum terdapat tiga buah masjid yaitu Masjid Al Anwar di Dusun Blimbing, Masjid As Syukur (khusus jamaah LDII) yang terletak di Dusun Karoman, dan Masjid Roudhotul Abror yang peletakan batu pertama pembangunanya baru di tahun 2016 dan berlokasi di perbatasan Dusun Boro dan Desa Prambon Wetan. Masjid Al Anwar merupakan masjid pertama dan tertua di desa tersebut. Masjid ini memiliki sejarah cukup panjang seiring dengan berkembangnya Islam di Desa Banjararum sendiri. Selain menjadi saksi tumbuhnya Islam, Masjid Al Anwar juga merupakan cikal bakal dari Pondok Pesantren Karoman yang dirintis oleh Mbah Anwar dan mengambil tempat di sekitar masjid. Pondok Karoman yang asalnya tidak mempunyai nama, sebagaimana lazimnya waktu dulu nama pondok cuma ditautkan dengan nama kampung atau desa tempat berdirinya, kemudian diberi nama Pondok Pesantren Mamba'ul Huda Karoman. Pemberian nama ini di masa KH. Abdurrohman Sholeh (menantu KH. Anwar yang pernah bermukim lama di Banjararum, sekitar 1960-1971, dan sekarang mengasuh PP. Mamba'ul Huda Desa Panyuran Kecamatan Palang). Pesantren ini mengalami penurunan bahkan kevakuman setelah Kyai Abdurrohman berpindah ke Panyuran dan setelah ditinggal wafat K. Asymuni di tahun 1992. Baru di tahun 1998 oleh K. Nurhadi (putra tertua KH. Anwar) sepulang anaknya yang bernama Ahmad Damanhuri dari Pondok Tanggir, dirintislah kembali di Dusun Boro kegiatan mengaji Al Qur-an dan Diniyah untuk anak-anak Banjararum dan sekitarnya. Kemudian di tahun 2002 ada beberapa santri dari luar desa yang tinggal di gothaan santri sehingga dihidupkan kembali kegiatan pesantren. Ponpes tersebut diberi nama Manbaul Huda untuk meneruskan visi misi pesantren lama dan sekarang biasa disebut PP. Al Hadi setelah berdirinya lembaga formal SMP Plus Al Hadi ( 2009) dan SMK Al Hadi (2012).

Para kyai dan pengurus ta'mir Masjid Al Anwar sudah tiga kali melakukan renovasi bangunan secara total sejak berdirinya, yakni pada sekitar tahun 1900 -an. Pertama kali di tahun 1950-an. Awalnya masjid tersebut masih berupa Langgar (mushola) dengan bangunan kayu berdinding bambu/gedhek. Dalam renovasi total yang pertama ini diadakan peluasan bangunan, dindingnya diganti papan dari kayu dan lantainya masih tetap plester. Setelah meletusnya G 30 S PKI pada tahun 1965 ( juga diketemukan dokumen rencana penculikan sembilan tokoh NU Banjararum) terjadi pertambahan jamaah yang cukup banyak, akibat kesadaran warga yang sebelumnya anti masjid, maka ditambahlah ruangan papan kayu di selatan masjid. Kemudian dalam renovasi kedua, di tahun 1983-1984 (masa K. Nurhadi dan K. Asymuni dan bendahara Zainal Arifin dan Muntari dengan dukungan H. Mahsun Ronggomulyo -Tuban) mulai dindingnya diganti dengan batu bata dan lantainya dari tegel warna kuning meskipun tidak mengalami perluasan yang berarti. Akhirnya dalam renovasi ketiga secara besar-besaran yang dilakukan pada tahun 2006-2008 (masa Kyai Sudarmaji dengan Ketua Ta'mir H.Moh. Darum dan Mbah Modin Mohdi) lantai dinding dan lantai bawah sudah menggunajan batu granit. Bangunan masjid semakin luas ketika tahun 2014-2016 ditambahkan bangunan sayap selatan. Dan di tahun 2020 ini baru saja diselesaikan tempat wudlu dan toilet yang cukup luas dan representatif sebagai rehab total tempat wudlu lama.

Sarat Sejarah

Waktu dulu, sekitar sungai Bengawan Solo merupakan sentral pemukiman warga desa-desa yang wilayahnya dilintasinya. Bengawan Solo menjadi aspek penting dalam runtutan sejarah desa-desa sekitar sungai itu karena sungai sebagai jalur utama transportasi masyarakat. Begitu halnya dengan Banjararum. Konsentrasi pemukiman dan pusat kegiatan kala itu ada di wilayah sekitar sungai. Kegiatan ekonomi, peribadatan, dan kegiatan sosial lainnya hampir semuanya berputar tidak jauh dari Sungai Solo yang menjadi batas desa bagian selatan

Yang membuat posisi Masjid Al Anwar sekarang berada di pedalaman dan pinggiran desa adalah faktor erosi bantaran sungai dimana "Brang Kidul"(wilayah Bojonegoro) semskin bertambah dan "Brang Lor" terus terkikis. Posisi masjid yang dulu jauh dari sungai, disebabkan sedikit demi sedikit tanah "Brang Lor" (wilayah Tuban) runtuh dari tebing, sehingga letak masjid sekarang ini tinggal kurang 100 meter dari bibir Bengawan Solo.
Sekitar masjid yang dulu masuk wilayah Karoman (ada pergeseran batas-batas dusun setelah tahun 60-an) dan penuh dengan pemukiman warga akhirnya warganya banyak berpindah.

Sebelum tahun 50-an, sebagian besar pemukiman warga terletak di antara bantaran Bengawan Solo dan Kali Beron. Di sebelah utara Sungai Beron ada jalan antar desa yang masih berupa tanah liat tanpa batu pengeras. Sepanjang jalan di pinggir utara berjajar dengan rimbun pohon asam dan di sisi selatan yang berhimpit dengan sungai kecil yang mengalir jernih itu banyak ditanami berbagai pohon, seperti waru, _asem londo_ dan trembesi. Di utara jalan adalah hamparan luas pesawahan yang merupakan sawah milik desa.

Beralihnya pusat desa secara berangsur-angsur sejak awal tahun 50-an dimana oleh Kepala Desa Banjararum pertama kala itu, Samuri/ H.Abdus Syukur melakukan kebijakan "pencar karang" dimana penduduk yang sudah menikah dan masih menumpang di rumah orang tua serta tidak memiliki tanah untuk perumahan, oleh desa diberi sawah sepetak berukuran 20 m X 40 m untuk diurug dan didirikan rumah pemukiman. Sejak itu perumahan di utara jalan desa semakin ramai dan kian banyak seiring dengan peningkatan kualitas jalan desa yang pada gilirannya berkembang menjadi jalur utama transportasi darat, meninggalkan transportasi air di Bengawan Solo.

Sudah menjadi hal lumrah bahwa masyarakat pada zaman dulu sangat menjunjung seorang yang berpendidikan, lebih-lebih yang menempuh pendidikan agama dalam hal ini pendidikan pesantren. Kyai menjadi tokoh penting yang bisa dikatakan harus ada di hampircsetiap desa di Pulau Jawa. Tokoh agama atau kyai dijadikan tumpuan dan rujukan masyarakat dalam memecahkan segala permasalahan kehidupan dari hal-hal yang kecil sampai hal- hal yang besar. Selain mengajar dasar- dasar membaca Al Qur-an dan agama, kyai juga bertugas memimpin berbagai ritual keagamaan dan kegiatan budaya dan adat yang sudah di _islamisasi_ dengan penuh kearifan. Kyai sebagai panutan dalam berbagai aspek kemasyarakatan, dan banyak sekali peran yang dimainkannya sehingga tanpa sadar tercipta relasi yang kuat bahkan tak jarang bersifat fanatis antara masyarakat dan kyai. Apabila dalam suatu desa belum memiliki kyai maka biasanya ada inisiatif dari desa ataupun dari orang-orang yang kuat secara strata sosial maupun ekonomi untuk mendatangkan kyai ke desanya.

Masjid Al Anwar yang semula hanya sebuah langgar/mushola yang dikembangkan oleh Mbah Anwar. Sebelum kedatangan Mbah Anwar, ada beberapa tokoh yang kaya yang tinggal di sekitar Masjid dan di Desa Karoman seperti Mbah H. Thayib yang kelak menjadi mertuanya Mbah Anwar. Ada Mbah Hj.Sundari yang diperistri Mbah H.Masyhuri, pendatang dari Bangilan. H. Masyhuri merupakan kakek dari Ir. H. Noor Nahar Hussein, Wabup Tuban saat ini (2011- 2021). Adiknya Mbah Hj. Sundari yang bernama Mbah Hj. Sujiyah dinikahi oleh Mbah H. Ridlwan yang juga dari Bangilan. Mbah Sujiyah ini mempunyai putra yang bernama H. Masduki yang pernah menjadi bendahara di PCNU Tuban. Pak Masduki mempunyai putri, Bu Nis, istri mantan Wabup Tuban periode 2006-2011 yaitu H. Lilik Suhardjono. Kemudian adiknya lagi bernama H. Thoha yang bisa dikatakan orang terkaya di Karoman saat itu. Ketiga tokoh ini masih mempunyai pertalian keluarga yang dekat dengan Mbah Shofiyatun putri Mbah Kasturi +Mbah Thayib.

Karena keinginan kuat Mbah Thayib agar di Banjararum ada kyai yang mengajar ngaji, maka beliau mendatangkan santri muda bernama Fadhil yang alim dari Desa Sarangan Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro. Kyai Fadhil tidak lama di Karoman, kemudian pindah ke Tapang (Campurejo) yang terlatak sekitar 1 km sebelah barat Karoman atas usaha Kepala Desa Tapang waktu itu. Mbah Thayib sangat susah hati, karena Karoman mengalami kekosongan guru ngaji lagi. Beliau mempunyai 2 anak, 1 putri bernama Shofiyatun dan adiknya laki-laki yang bernama Kastaji. Putrinya yang bernama Shofiyatun akhirnya dikirim belajar ngaji ke sebuah pesantren di Panyuran - Palang, meskipun waktu itu anak perempuan mondok sangat langka dan belum lazim. Kastaji dipondokkan di Pesantren Kasingan Rembang asuhan Mbah Kyai Kholil Harun (mertua KH. Bisri Mustofa). Kastaji muda terkenal santri yang tekun dan cerdas, waktu itu sudah ngaji kitab Syarah Asymuni 'ala Alfiyah ibnu Malik, sebuah kitab nahwu, yang mana catatan pinggirnya yang disebut Hasyiyah Shoban setebal 4 jilid (saya mendapatkan kitabnya Mbah Kastaji ini) harganya di zaman kolonial sangat mahal, dua ekor sapi, bayangkan! Namun Kastaji tidak berusia panjang, wafat ketika masih nyantri di Kasingan. Mbah Thayib tentunya sangat sedih hati, anak laki-laki satu- satunya yang diharapkan bisa membimbing dan mengajar ngaji masyarakatnya, dikehendaki lain oleh Allah SWT Sang Pencipta. Mbah Thayib tinggal mempunyai satu anak perempuan, suatu kali berucap "Shofiyatun tidak akan aku kawinkan kecuali dengan santri yang mempunyai kitab se-gerobak".

Mbah Anwar (lahir sekitar tahun 1890 dan wafat 1970) bernama asli Mustajab, putra dari Mbah Umar yang berasal dari Kampung Sengir Desa Doromukti Kecamatan Tuban. Nama Anwar adalah pemberian Syehnya ketika haji di Tanah Suci pada tahun 1953. Mustajab muda adalah santri yang ulet. Beliau pernah menuntut ilmu di beberapa pesantren seperti Makamagung- Tuban, Langitan, Maskumambang- Gresik, dan beberapa waktu di Pesantren Syaechona Cholil Bangkalan. Akhirnya Mustajab dijodohkan dengan Shofiyatun binti Mbah Thayib Karoman (+- 1918). Mbah Tajab membawa kitab- kitabnya yang memang cukup banyak dalam gerobak/ cikar sebagai bentuk memenuhi nadzar sang mertua.

Setelah di Karoman Mbah Anwar mengembangkan sebuah langgar yang nantinya menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Al Anwar. Meski hanya langgar kecil yang digunakan untuk mengajar ngaji, namun santri Mbah Anwar sudah terbilang banyak kala itu. Konon Almaghfurlah Mbah Kyai Murtaji (Rais NU Tuban) semasa muda sekitar ahir tahun 40-an sampai tahun 50-an dan masih mukim di Desa Punggulrejo, (2 km sebelah barat Banjararum) juga ikut membantu mengajar diniyah di pondoknya Mbah Tajab. Santri-santri tersebut kebanyakan berasal dari Karoman sendiri dan desa-desa sekitarnya, ada beberapa santri dari jauh. Disamping langgar yang akhirnya digunakan untuk sholat jum'at itu didirikan bangunan sederhana untuk menginap para santri dan sebuah rumah panggung dari kayu yang juga berisi kamar-kamar santri.

Pengambilan nama Al Anwar untuk nama masjid adalah untuk mengenang Mbah Anwar. Berkat jasa beliau desa Banjararum bisa terus berkembang hingga saat ini. Beliau menjadi secercah obor di tengah masyarakat. Sebelumnya masyarakat masih awam tentang agama. Kewajiban dan larangan syariat belum banyak dimengerti. Secara lembut, dan tekun Mbah Anwar berhasil mengikis sedikit demi sedikit hal- hal negatif di masyarakat dengan cara dakwah beliau yang arif.

Perhatiannya terhadap bangsa dan negerinya juga tidaklah kecil. Banyak pejuang kemerdekaan ketika akan berangkat ke medan perang minta doa dan rajah kepada beliau. Bahkan ketika Perang Surabaya meletus, beliau juga ikut terjun dalam kecamuk perang tak berimbang dan bombardir pasukan sekutu pemenang Perang Dunia II yang diboncengi tentara Nica Belanda. Mbah Tajab datang di Surabaya memenuhi seruan Resolusi Jihad sebagai kewajiban bela negara yang dihukumi fardlu 'ain bagi umat islam yang bertempat dalam radius 90 km (masafatul qoshri) dari Surabaya dan fardlu kifayah bagi yang berdomisili di luar jangkauan itu. Resolusi Jihad yang difatwakan oleh Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari ini menarik para ulama, santri dan berbagai lapisan ummat islam untuk ikut terjun langsung di medan perang, perang kemerdekaan yang paling heroik di Indonesia, pertempuran terbesar yang tidak pernah diperhitungkan oleh kalangan sekutu, adu kekuatan di luar nalar militer yang melahirkan peristiwa 10 Nopember 1945. Fatwa yang dicetuskan pada tanggal 22 Oktober 1945 ini ahirnya oleh Presiden Jokowi pada tahun 2015 lalu ditetapkan menjadi Hari Santri Nasional sebagai apresiasi negara atas kiprah para kyai-santri dan sebagai bentuk pelurusan dan penguakan sejarah perjuangan para ulama negeri tercinta ini yang selama ini banyak dikerdilkan bahkan sengaja ditenggelamkan oleh banyak pihak.

Sejak awal berdirinya, masjid ini secara amaliyah bercorak syafi'iyah, karena para kyainya adalah produk pesantren-pesantren tradisionil di Jawa. Saat sholat Jum'at, ada 2 kali adzan, bahkan ada terjemah khutbah sebelum khothib naik ke mimbar, untuk menyampaikan 2 khutbah dengan murni berbahasa arab (mengikuti pendapat gurunya Mbah Anwar yaitu KH. Murtadlo Makamagung, yang ber _ihtiyath_ tidak memperbolehkan khutbah dengan terjemah, untuk memahami agama, umat Islam harus ngaji. Ada kitab karya Mbah Tolo-sebutan KH. Murtadlo, yang berjudul Arrisalah al Murtadlowiyyah, yang memuat alasan-alasan dan hujjah-hujjah beliau). Model khutbah seperti ini masih diterapkan sampai hari ini. Setelah sholat jum'at juga dibaca secara bersama-sama dua bait pujian karya Abu Nuwwas الهي لست للفردوس أهلا ..... dst. Dulu setelah sholat jum'at masih dilakukan 'iadah (mengulang sholat dhuhur secara berjamaah), baru di ahir tahun 70-an i'adah ini ditiadakan, sesuai fatwa mbah KH. Abdurrahman Panyuran. (Ahda/ Wawan)

Banjararum, Jelang Mentari Terbenam 9 Muharram 1442 H/ 28 Agustus 2020

Gambar mungkin berisi: 1 orang, topi
Gambar mungkin berisi: sepeda Motor dan luar ruangan