Dari, Oleh, Untuk MWCNU RENGEL

Wikipedia

Hasil penelusuran

Language Choice

غينا غينكم غينهم

Senin, 30 Maret 2020

Berjamaah Sholat Dengan Barisan Longgar Antar Makmum Karena Khawatir Wabah Menular ?

[30/3 20.14] الشيخ دمنهری:
Oleh : Ahmad Damanhuri

*Bagaimana hukum shalat jama’ah dengan  merenggangkan jarak antar makmum karena ada perintah untuk melakukan _social distancing_ ketika merebaknya wabah covid -19 seperti saat  ini?*


Jawab :

Terkait pertanyaan di atas ada dua hal yang perlu diberi penjelasan, yaitu sahkah jama'ah nya dan apabila sah apakah masih mendapatkan fadlilah(keutamaan jama'ah) ?

Dalam hal keabsahan jamaah yang melakukan _social distancing_,  imam dan para makmum masih berkumpul dalam satu tempat (masjid, musholla, ruangan dll.) Dalam kitab-kitab fikih Madzhab Syafi’i disebutkan, bila imam dan makmum berkumpul dalam satu masjid maka shalat jama’ahnya sah sekalipun jarak antara makmum dan imam lebih dari 300 dzira'/hasta (+- 144 m) dengan syarat:

a. makmum mengetahui perpindahan rukun imam
b. posisi makmum tidak mendahului posisi imam,
c. tidak ada penghalang antara keduanya, dalam artian harus ada jalan tembus yang menghubungkan makmum dan imam, walaupun dengan cara menyamping (tidak mundur).

Untuk tempat selain masjid dan ruang terbuka juga ada sedikit perbedaan dalam ketentuan berjamaah shalat..bisa dilihat dalam kitab- kitab fiqih !

Jadi, shalat jama’ah tersebut tetap sah karena sudah memenuhi syarat –syarat sah yang disebutkan di atas.

Adapun meluruskan barisan dan merapikannya (tidak renggang, tidak terdapat celah dalam barisan, pundak seorang makmum dengan lainnya sedikit berhimpit) termasuk sunah dalam shalat berjama’ah, sebagaimana pendapat Ibnu Hajar yang redaksinya dapat kita baca dalam kitab al-Minhaj al-Qawim (hal 164) :

وَيُسْتَحَبُّ تَسْوِيَةُ الصُّفُوْفِ وَالأَمْرُ بِذَلِكَ لِكُلِّ أَحَدٍ وَهُوَ مِنَ الإِمَامِ بِنَفْسِهِ أَوْ مَأْذُوْنُهُ آكِدٌ لِلْاِتِّبَاعِ، مَعَ الوَعِيْدِ عَلَى تَرْكِهَا. وَالـمُرَادُ بِهَا إِتْمَامُ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ، وَسَدُّ الفَرَجِ وَتَحاذِيْ القَائِمِيْنَ فِيْهَا .....إلى أن قال.... فَأِنْ خُوْلِفَ فِيْ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ كُرِهَ.

“Disunnahkan bagi setiap orang untuk merapikan shaf shalat dan memerintahkannya  . Perintah ini menjadi lebih muakkad bila yang melakukannya adalah imam serta orang yang diberi izin untuk itu  (merapatkan shaf), disertai ancaman bagi orang yang meninggalkannya. Yang dimaksud ‘merapatkan’ di sini adalah memenuhi shaf pertama  dan shaf seterusnya, menutup celah, meluruskan pundak........... jika itu dilanggar, maka hal itu makruh......”

Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj (juz 1/hal 295 ) mempertegas hal ini :

Selanjutnya apakah jama’ah tadi mendapatkan keutamaan  jama’ah (seperti mendapat fadlilah 27 derajat dll)?

Di kalangan Syafi'iyah ada dua pendapat, menurut Ibnu Hajar al Haitami tidak mendapatkan. Tapi menurut Imam Asy-Syihab ar-Ramli: tetap mendapatkan keutamaan jama’ah. Perbedaan ini terdapat dalam kitab Busyra al-Karim (hal 379):

“…فَإِنْ خَالَفَ فِيْ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ كُرِهَ، وَفَاتَتْهُ فَضِيْلَةُ الجَمَاعَةِ عِنْدَ حج (ابن حجر). وَعِنْدَ الشِّهَابِ الرَّمْلِيِّ: كُلُّ مَكْرُوْهٍ مِنْ حَيْثُ الجَمَاعَةُ مُفَوِّتٌ لِفَضِيْلَتِهَا إِلَّا تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ”

“bila menyelisihi salah satu dari hal-hal tersebut (perihal merapikan shaf), maka makruh. Dan menurut  Imam Ibnu Hajar, orang tersebut tidak mendapatkan fadlilah jama’ah. Sedangkan menurut Imam as-Syihab ar-Ramli, semua yang dimakruhkan dari segi berjamaah bisa menghilangkan fadlilah jama’ah, kecuali merapikan shaf”

Namun ibarat kitab di atas berlaku pada saat kondisi normal, keadaan tidak ada udzur yang mengharuskan seseorang untuk merenggangkan shaf shalat. Bila ada uzur, maka shalat orang tersebut tidak makruh dan ia tetap mendapatkan fadhilah jama’ah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Nawawi al-Bantani  dalam kitab Nihayatuz Zain (hal 119):

نَعَمْ، إِنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ عَنْ سَدِّ الفَرَجَةِ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الحَرِّ بِالـمَسْجِدِ الحَرَامِ لَـمْ يُكْرَهْ لِعَدَمِ التَّقْصِيْرِ فَلَا تَفُوْتُهُمُ الفَضِيْلَةُ

“Tetapi jika mereka tertinggal (terpisah) dari shaf depannya karena uzur seperti cuaca panas di masjidil haram, maka tidak (dianggap) makruh karena tidak ada kelalaian. Dan mereka tidak kehilangan fadlilah shalat jama’ah”

Kesimpulan shalat berjama’ah yang dilakukan dengan shaf renggang tetaplah sah, serta tidak makruh dan tetap mendapatkan keutamaan berjemaah. Sebab renggangnya shaf tersebut dilakukan bukan karena lalai dan _taqshir ( jw : pepeka)_. Hal itu disebabkan oleh suatu uzur, yaitu menghindari kekhawatiran Covid 19 yang penyebarannya bisa lewat kontak langsung dengan penderita virus tersebut. Dengan demikian, shalat jamaah dengan menerapkan _social distancing_ maupun _physical distancing_ termasuk  hifdz al-nafsi (menjaga jiwa) yang merupakan salah satu bagian dari _maqashid syari’ah_ (tujuan mulia agama Islam ).

Sekali lagi,  kebaikan (kemaslahatan) bila sudah diperintahkan oleh _ulil amri_ (dalam hal kesehatan pengertian _ulil amri_ bisa diartikan adalah mereka yang berkompeten yaitu ahli2 medis) dan diinsyruksikan oleh pemerintah maka menjadi wajib kita ikuti. Tidak hanya saat berjamaah shalat saja, tapi kumpul- kumpul (sebatas perkumpulan yang masih diperbolehkan) yang lainnya.

Banjararum, 30 Maret 2020

[30/3 20.17] Ma: Manfa'at yai....aamiin

[30/3 20.18] Kang Pemda: 🙏🏻
[30/3 20.25] +62 852-3042-0729: la niki ingkang kulo ajeng2 manfaatnya untuk umat

[30/3 20.27] +62 823-3357-7255: Alhamdulillah tnh pengetahuan

[30/3 20.27] +62 823-3357-7255: Tbh

[30/3 20.48] +62 852-3042-0729: 1. Bagaimana hukumnya memandikan jenazah dengan tayamum karna alasan virus ini?

2. Dikuburkan dilakukan oleh petugas medis dengan langsung dikuburkan tanpa ada doa2 karna untuk menjga virus tidak menyebar. Gmana?

3. Benarkah korban virus Corona termasuk mati sahid?

Simak jawabannya bersama Ust. Syamsul Hadi Achmad dalam program SILET RCTI besok pkl 09.45...
Tonton yah!!!
Makasih

[30/3 23.24] +62 853-3006-7519: Alhamdulillah, matur suwun Yai.🙏🙏🙏atas pencerahannya.

0 Comments:

Posting Komentar