
Ketika NU Kembali
ke Khittah 1926 di mana NU tidak lagi menjadi partai
politik atau bagian
dari partai politik dan tidak terikat
oleh partai politik manapun, dengan sendirinya masyarakat yang selama ini cara
|
berpolitiknya ditentukan oleh pimpinan
pusat organisasi mengalami
banyak kebingungan. Mengingat adanya perubahan
politik dari stelsel kelompok
atau organisasi menjadi
stelsel individual ini, NU merasa
perlu memberi petunjuk
agar warganya tetap menggunakan hak politik mereka secara
benar dan bertangung jawab. Karena itulah, lima tahun setelah keputusan Muktamar Situbondo 1984, Muktamar
NU tahun 1989 merumuskan pedoman berpolitik
bagi warga Nahdliyin dengan menekankan akhlaqul karimah,
baik berupa etika sosial
maupun norma politik.
Dengan demikian keterlibatan warga NU dengan partai politik
yang ada bersifat individual, tidak atas nama organisasi, karena NU telah kembali
menjadi organisiasi sosial keagamaan
yang mengurusi masalah sosial, pendidikan dan dakwah. Namun demikian NU mengimbau pada warganya agar melakukan politik secara benar dan bertanggung jawab dan dengan cita- cita menegakkan akhlaqul karimah dan dijalankan dengan proses yang selalu berpegang pada prinsi pakhlaqul karimah.
Mengingat pentingnya politik sebagai sebuah sarana perjuangan, di samping sarana sosial dan pendiikan, maka warga Nahdliyin diberikan
tuntunan yang mudah dipahami dan sekaligus mudah dilaksanakan. Melalui sembilan
pedoman berpolitik warga NU ini diharapkan kaum Nahdliyin bisa menjadi
teladan dalam menjalankan politik, di mana norma dan etika selalu dikedepankan. Walaupun
untuk mencapai cita-cita itu penuh halangan, terutama dengan tumbuhnya
pragmatisme dewasa ini. Namun demikian prinsip perlu ditegakkan walaupun mungkin
dianggap tidak relevan, tetapi ini merupakan misi abadi yang harus ditegakkan bersama dengan
menegakkan agama, karena warga Nahdliyin telah berikrar
untuk mengintegrasikan perjuangannya dalam perjuangan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Dengan mempertimbangkan arah pembangunan politik yang dicanangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai usaha untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan diarahkan untuk lebih memantapkan perwujudan Demokrasi Pancasila, Muktamar merasa perlu memberikan pedoman kepada warga Nahdlatul Ulama yang menggunakan hak-hak politiknya, agar ikut mengembangkan budaya politik yang sehat dan bertanggung jawab agar dapat ikut serta menumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional serta membangun mekanisme musyawarah- mufakat
dalam memecahkan setiap masalah yang dihadapi
bersama, sebagai berikut
ini.
1.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai
dengan Pancasila dan
UUD1945.
2.
Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya mamsyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
3.
Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembanagan nilai-nilai kemerdekaaan yang hakiki
dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah
dalam memecahkan masalah
bersama.
|
6.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah
sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah. 7.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah- belah persatuan. 8.
Perbedan pandangan di antara
aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana
persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama. 9.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan
timbal balik dalam
pembangunan nasional untuk
menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisiasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu
melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi
dalam pembangunan. Yogyakarta,
28 November 1989 |
0 Comments:
Posting Komentar