Dari, Oleh, Untuk MWCNU RENGEL

Wikipedia

Hasil penelusuran

Language Choice

غينا غينكم غينهم

Sabtu, 29 Desember 2018

Kerja Bersinergi Dalam Jam'iyyah

Oleh : Alfaqier Ahmad Damanhuri
(Ketua Tanfidziyyah MWCNU RENGEL Periode 2018-2023)

Tempo hari saya mengundang para kyai muda dari Kecamatan Rengel dan Soko yang yang masih mempunyai kepedulian untuk menghidupkan salah satu tradisi pesantren, yaitu musyawarah kitab kuning.
Dari Rengel ada kelompok alumni berbagai pesantren yang mengadakan rutinan tiap malam Rabu dan bergilir tempatnya dari satu musholla / masjid ke musholla lainnya yang pemangkunya adalah kyai - kyai tersebut. Kitabnya Fathul Qorib dan dikaji berurutan fasal demi fasal dan bab demi bab.

Sementara di Soko begilir sebulan sekali dan sering bertempat di kantor MWC NU-nya. Adapun materi utamanya kiatb Fathul Mu'in. Mereka saya minta untuk membahas bab Faraidl dalam Fathul Mu'in.

Dalam sambutan selaku tuan rumah, para aktifis bahtsul masa'il ini saya gelitik dengan banyak guyonan dan cerita. 

"Di suatu desa di Bojonegoro, ada seorang kyai kampung yang getol _ngaji_ di tengah - tengah masyarakatnya, berbagai macam tema dikupas, termasuk tentang *ihdad* ( _ngusut_/ perkabungan ). Satu hal yang saat ini telah banyak diabaikan dan dilupakan orang". 

Para 'Ulamaa" telah ijma' akan wajibnya ihdad bagi wanita yang suaminya meninggal dunia selama masa iddahnya (' iddatul mutawaffa 'anha zaujuha, 4 bulan 10 hari ). Pengertian ihdad itu dijelaskan oleh kyai tersebut, agar si janda menghindari larangan berhias, bersolek dan lain- lain serta agar mulazamatul buyut ( tidak keluar rumahnya ), tidak kelayapan kecuali untuk keperluan - keperluan yang bersifat darurat dan tidak bisa dihindari. 

Kegigihan da'wah kyai kampung tersebut membuahkan hasil, timbulnya kesadaran warga untuk menjalani syariat ihdad. Sampai-sampai ketika ada janda yang keluar rumah sebelum masa iddahnya habis, tetangga -tetangganya yang bertemu lantas bilang " eh _yu_, eh _mbak_, belum 100 hari koq sudah keluar rumah ?".


Sekarang yang mengingatkan tidak perlu kyai/ ustadznya langsung, cukup warga di kampung itu. Buah dari kepiawaian dan ketelatenan sang kyai untuk mengajar agama dengan bijak. Ajaran agama merasuk jauh, dengan damai bisa diterima, bahkan menjadi norma. Salah satu model pendekatan Wali Songo dan para sesepuh pendahulu.

Saya ceritakan juga "ada sebuah desa di Lamongan yang warganya banyak memiliki pohon mangga. Ketika tengkulak buah berebut dagangan, dan pemilik pohon butuh uang, dimana-mana berlaku, buah mangga yang masih berupa bunga atau _pentil_ sudah diperjual belikan. Namun tidak dengan warga di desa itu, mereka hampir kompak bilang kepada bakul yang menawar "..masih kembang.... masih _pentil_...kata pak ustadz.. kata mbah kyai.....belum boleh dijual..". Kita temukan lagi aturan fiqih tanpa terasa telah menjadi norma masyarakat. Berkat kegigihan para da'i ilallah untuk menyeru dan menyampaikan.

Pernah saat saya berkunjung di kerabat saya yang tinggal di Jawa Barat untuk bertakziyah. Saudara dari suaminya wafat. Famili saya tadi bercerita bahwasanya di desa ini telah menjadi kebiasaan, bilamana ada orang meninggal, tidak berselang lama ( biasanya sehabis selamatan hari ke tujuh ) ahli waris dari si mayit itu berkumpul dengan mengundang seorang kyai ahli faraidl ( disaksikan oleh pejabat desa/ kelurahan ) untuk menghitung _tirkah_, menilai aset warisan, dan meminta fatwa ke kyai tersebut akan bagian masing- masing, keluarga yang mestinya termasuk ahli waris juga, adakah yang masih terlewatkan dan kewajiban apa yang harus ditunaikan ahli waris yang berkaitan dengan harta peninggalan si mayit itu. Sekali lagi aturan Allah bisa membumi.

Keadilan dalam pembagian _tirkah_ terwujud, _i'thou kulli dzi haqqin haqqohu_, tidak terjadi _la ta' kuluu amwalakum bainakum bil bathil_. Di sisi lain keberadaan ahlul ilmi tidak sekedar _tajhizul janaiz_, upacara pemberangkatan jenazah, selamatan doa tahlil atau rutinitas ritual untuk arwah saja, namun juga dilibatkan dalam aspek privasi ahli waris (karena urusan harta waris - dalam pandangan banyak kalangan - dianggap masalah internal keluarga dan sensitif untuk dibicarakan apalagi diatur pihak luar).


Saya berkelakar " sering loh saya diminta kyai - kyai lain ( sering kyai jauh - jauh dan tentunya cuma cuma via wa atau telpon ) untuk memecahkan masalah pembagian warisan, mungkin kyai teman saya itu dapat angpaonya sementara yang di sini cuma dapat _matur nuwunnya_" saja. he .. he.. mau komersialisasi fatwa ? 
Lebih ironis lagi malah di sekitar saya gak ada tuh yang minta fatwa bab waris. Ha .. ha.."


Dalam masalah jilbab, kerudung, penutup aurat rambut ( dan leher ) bisa juga kita jadikan contoh. Sewaktu saya masuk sekolah salah satu SMP swasta di Tuban, ahir 70-an, untuk urusan jilbab di sekolahan adalah hal yang sangat asing dan aneh, mungkin sekolah saya itu satu-satunya sekolah di kota Tuban ( benar- benar di pusat kota, di barat alun- alun, satu komplek dengan Masjid Agung _Mesjid Gedhe_ para tetua menyebutnya ) yang mewajibkan siswinya memakai jilbab. Sampai terkenal dengan (may be nada cibiran ...) _sekolah ngisor bedhug_, ( ingat saya tiap kelas ada 2 rombel, kelas 1 dan 2 siswanya masih bercampur putra dan putri, putra memakai celana pendek , putri sudah berbusana muslim lengkap, setelah kelas 3 baru dipisah, putra sendiri- kebanyakan sudah memakai celana panjang minus songkok- dan putri di kelas tersendiri ). Kalau hari Ahad masuk, ( masuk sendiri, semua libur) liburnya Jum'at.. SMP kami waktu itu favorit dan bonafit juga bro ! Plus kyai- kyai kota Tuban yang masyhur, _sepuh_ dan muda, semuanya terjun langsung mengampu, siswa- siswinya berasal dari seantero kabupaten dan tekenal cantik- cantik sampai tetap jadi primadona di jenjang lanjutannya, berbagai sma.. he.. he.. Sisi akademiknya juga tak kalah, angkatan smp kami waktu mencoba keberuntungan untuk mengikuti tes tulis masuk SMA Negeri Favorit, dilihat dari prosentase yang diterima dari jumlah pendaftar ( pendaftar dari smp kami ) menduduki ranking ke dua..Cuma kalah dari SMP Negeri Favorit yang berhadapan dengan sekolah kami ( pojok timur alun-alun )ۥ Dan berkahnya SMP kami, konon ada dua orang alumnusnya yang pernah menjabat menteri .. ( entah dari sekolah lain ? ).

Jilbab saat itu memang masih aneh dan asing, dan bagi siswi sekolah, aturannya ( mungkin ) dilarang. Sampai-sampai teman-teman perempuan saya waktu di SMAN 1 Tuban ya jilbab yang telah dikenakan dari SMP-nya terpaksa dengan sedih ( atau dengan senang hati - belum sempat _nanya_ ke mereka ...he..he... ) ditanggalkan ( dan memakai rok pendek tentunya ) he..he..

Namun dengan kegigihan para dai/ daiyah untuk menyeru ummat kepada kebaikan dan perjuangan para wakil yang ada di atas, syariat jilbab itu berangsur oleh masyarakat diterima, lalu dibutuhkan dan bahkan sekarang menjadi budaya. Banyak yang merasa tidak _pede_ kalau tidak mengenakannya ( zaman telah berganti ).

" Ketika panjenengan semua saya undang ke sini, dengan bab yang telah ditentukan, tentu sudah ada persiapan, yang asalnya sudah faham , setelah musyawarah nanti akan semakin bertambah pengertiannya, kalau ada yang musykil, menjadi terurai kesulitannya. Namun di luar sana, mereka yang mayoritas, umat kebanyakan, tetap dalam ketidak tahuannya. 

Harus kita akui, karena kurangnya strategi dan kiat untuk " ballighuu annii (بلّغوا عنّي) ", belum adanya metode praktis, efektif serta langkah brilian dalam menyosialisakan dan menyinergikan gerakan untuk membumikan satu demi satu _as syari'at al gharra'_ ini." imbuh saya.

Nah, itu yang harus segera dirumuskan ! Peran itu ( untuk membumikan ) bisa ( dan semestinya ) diambil oleh para agamawan, baik secara personal, maupun kelembagaan. Secara kelembagaan seperti NU dengan semua lembaga formalnya, kalau bersinergi, baik internal maupun lintas sektor, tentu lebih efektif hasilnya dan lebih masif jangkauannya.

Kami mencoba membuat sinergi di internal MWCNU Rengel dan lembaga- lembaganya. Bukankah NU adalah Jam'iyyah Diniyyah Ijtimaa'iyyah (Organisasi yang _concern_ dalam bidang keagamaan dan mempunyai perhatian penuh dalam bidang sosial kemasyarakatan). ). 

Sinergisitas yang diharapkan ini tentunya dalam skala kecamatan :

1. Syuriyah ( Pemegang kendali ).

2. LBM + Kyai- kyai muda 
( Ruh Jam'iyyah dan pemegang tongkat estafet syuriyah ) untuk terus mengkaji, menganalisa, merumuskan dan memberi solusi permasalahan keummatan dalam segala bidang kehidupan yang bersifat profan maupun ukhrowi, yang berdimensi personal maupun komunal, agar ummat punya pegangan, titian dan pedoman.


Pelaksanaan melibatkan :

3. LTM NU ( penyediaan lokasi dan penyebaran hasil )
Rumusan, formulasi dan sosialisasii hasil kajian melibatkan :

4. LTN NU ( penulisan, narasi dan publikasi ) lewat media massa, media online, bulletin, medsos seperti website, blog, facebook, whats app, dll.

5. LDNU ( sosialisasi ) 
Dengan menggandeng para
khatib, imam jamaah tahlil,
imam masjid / musholla, 
pengasuh majelis ta'lim,
pemangku rutinan banom, dll.

6. MA'AARIF ( edukasi lewat
lembaga pendidikan formal dan non formal ( TPQ, MADIN, PONPES).

7. LAKPESDAM ( pemetaan dan segmen sumberdaya).

8. UPZIS NU - ( biaya fc / cetak ).

9. FORUM 'ULAMAA" & 'UMAROO" (di
Rengel telah terbentuk).

10. MUI ( di Tuban kepengurusan
secara lengkap sudah ada di
tingkat kecamatan, bahkan
telah membentuk jaringan
dengan mengangkat pengurus secara sederhana di tingkat desa ).

11. LEGISLATIF (hasil bisa
direkomendasikan).

12. LSM.
13. Dll.


Demikian ihtiar kami, semoga ALLAH SWT meridloi, memberi kemudahan dan _mahrojaa_.

Al Hadi - Banjararum, 28/12/2018

0 Comments:

Posting Komentar